Friday, May 18, 2018

Teman Tak Terlihat

Entahlah, aku tak habis pikir dengan takdir. Memang takdir tak selalu sama seperti apa yang kita inginkan, tapi entah kenapa takdir buruk selalu gemar menghampiriku. Orang-orang berkata bahwa itu adalah anugrah dari Tuhan yang tidak semua orang mampu, tapi bagiku itu adalah kutukan yang menakutkan. Nasi sudah menjadi bubur, tak guna juga memaki, tak guna juga mencaci. Setelah kusadari kelebihan yang ku punya ini, aku tak pernah sekalipun merasa kesepian walaupun aku sedang seorang diri, karena aku punya teman yang selalu menemaniku saat aku membutuhkan. Seseorang yang kusebut teman bahkan akupun tak tahu siapa namanya, tapi ia selalu ada. Inilah kisahku dengan teman tak terlihatku.



Di suatu malam yang sunyi berbalut langit hitam dan bermandikan bintang di depan pelataran rumahku pertama kalinya aku bertemunya, kedatanganya pun membawa aroma segar yang melegakan pikiranku yang kala itu sedang diserang kebuntuan, entah aroma apa itu? Akupun tak tahu sebab baru kali pertama dalam hidupku aku menghirupnya. Malam semakin larut aroma itupun seakan memudar seirama dengan kepergianya, rasa kantuk tak bisa ku elakan lagi bahkan secangkir kopi pun tak bisa menghadang rasa kantuk di malam itu. Dengan rasa penasaran yang masih melekat dalam kepalaku tergiang kembali kehadiranya yang membawa aroma segar yang menghayutkan jiwa dan duniaku.



Malam berikutnya akupun berharap kehadiranya, detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam ku nanti betul kedatanganya yang membuat jiwaku tenang seakan terbebas dari semua masalah. Kutengok kanan kiri berulang kali seperti pemuda tak tentu arah tujuan. Ia pun tak kunjung datang, tak terasa dua setengah cangkir kopi pun telah habis ku minum dengan harapan penghilang jenuh dikala menunggunya. Akhirnya ku akhiri malamku dengan penuh rasa kecewa.



Masih ada rasa kecewaku prihal semalam akupun menjalani pagiku tanpa ada semangat sedikitpun dalam diriku, hidup segan mati tak mau, begitulah pagiku yang suram bagai berlayar di tengah badai, terombang-ambing tak tentu arah tujuan. Kuceritakan tentang kisahku belakangan ini kepada sahabat karibku Lala. Ku ceritakan semua kisahku pada malam itu. Jawabanya membuatku bingung keheranan, Aku rasa sahabat karibku tahu sesuatu tentang peristiwa yang kualami malam itu. Akupun menanyakan kepadanya “apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?” sahabatku menjawab “Itu adalah temanmu, Ia akan menemuimu saat kau membutuhkanya, tapi kau tak bisa memanggilnya” jawab Lala sahabatku.



Rasa penasaranku pun semakin menjadi-jadi, Aku pun terus bertanya sebenarnya siapa dia yang tiba-tiba datang membawa kesegaran yang seolah-olah memberikan secercah harapan kepadaku. Jikalau aku bisa memanggilnya pasti akan kupanggil Ia setiap saat, tapi sayang berulangkali ku coba berulang kali juga ku gagal.



Di hari-hariku berikutnya ku mulai mencoba melupakanya, berharap ku bisa menjalani hidup tanpa harus teringat akan kehadiran petamanya. Di sore hari yang cerah kutatap langit yang kuning menyala-nyala, kutatap langit senja sampai dimakan gelap malam. Ku curahkan keluh kesahku pada sang langit yang memakan lembayung senja, Ku maki bintang-bintang dan langit malam yang dingin hingga menusuk tulang rusuk ku. Uintuk pertama kalinya aku benci malam, ada securah inginku untuk menuntut semesta yang dungu telah menciptakan malam yang sia-sia untukku.



Hingga di suatu sore ditemani dengan secangkir kopi hitam panas sembari menikmati lembayung senja yang indah tiba-tiba kembali kucium aroma kesegaran yang sama seperti di malam itu, sontak akupun teringat perkataan Lala “Itu adalah temanmu, Ia akan menemuimu saat kau membutuhkanya, tapi kau tak bisa memanggilnya” coba kupahami maksud dari ucapanya sembari ku menikmati kesegaran dari aroma itu yang menenangkan hati, pikiranku pun mengawang jauh bebas menuruti apa yang aku kehendaki.



Seiring dengan berjalanya waktu akupun mengerti betul siapa sebenarnya temanku yang tak terlihat itu, yang selalu ada saat kubutuhkan. Dan akupun menyadari bahwa ia bukanlah manusia ataupun orang lain, melainkan ia adalah diriku sendiri. Ia datang dari alam bawah sadar pikiranku sendiri yang melekat dalam jiwaku. Setelah ku tahu siapa temanku itu, akupun lekas menceritakan kepada sahabatku Lala. Entah kenapa ada yang aneh dari sikap Lala kepadaku, sudah berbusa mulutku bercerita, namun tak ada sepatah katapun terucap darinya Ia hanya terdiam tak ada suara terdengar darinya. Bukanya kesal dengan sikapnya aku malah tertawa terbahak-bahak, bukan aku meneratawi Lala melainkan aku menertawai diriku sendiri. Aku merasa sangat bodoh sampai-sampai tidak bisa menyadarinya. Bahwa apa yang selama ini kuanggap sebagai sahabat adalah sebuah ilusi, tidak ada seorang Lala yang kukenal di dunia nyata. Ia hanya sebuah imajinasi yang hadir didalam jiwaku.


                                                                                                          Ditulis oleh : Gigih Prahastoro